LPPNRI KAB / KOTA BLITAR

Mohon Bantuannya Kepada Masyarakat Bila Terdapat Ketimpangan Terhadap Pelaku Penyelenggara Negara disekitar wilayah kita , Kami Akan bantu mengadakan Penelusuran lebih lanjud Agar Penyelenggara Negara di Wilayah Kita Berjalan sesuai dengan Mestinya , kirimkan pada Kotak Pengaduan dibawah ini sebagai Penagaduan anda , Terima Kasih atas kerja samanya.

Minggu, 28 Maret 2010

Benyamin Mangkudilaga, SH Ikon Integritas Seorang Hakim Karir

Namanya muncul ke permukaan ketika sebagai hakim di sidang PTUN Jakarta, memenangkan gugatan majalah Tempo yang dibredel pemerintah ORDE BARU, terhadap menteri penerangan Harmoko. Ia patut disebut Ikon Integritas seorang Hakim Karir di negeri ini.

Sebelum menjabat hakim agung, pria kelahiran Garut 30 September 1937 ini, aktif sebagai anggota berbagai lembaga penting di Tanah Air. Antara lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Arbitrase Nasional, Dewan Pers, dan Partnership to Support Governance Reform in Indonesia.

Benjamin menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di SMP dan SMA Kanisius. Kendati ia seorang muslim, dia memilih sekolah Katolik itu, karena alasan bermutu dan berdisiplin tinggi.

Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang akrab dengan masalah hukum. Ayahnya,

H Mangkoedilaga adalah seorang jaksa. Lalu, ia pun meraih sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Walaupun semasa kecil, ia sempat bercita-cita menjadi tentara. Namun, cita-cita itu tak terwujud karena ia gagal masuk Akademi Militer Nasional (AMN) akibat matanya tidak bisa melihat jauh. Cita-cita jadi tentara sedikit terobati saat duduk di Fakultas Hukum UI, ia bergabung aktif dalam Resimen Mahasiswa. Bahkan ia sempat menjadi Komandan Batalion UI.


Suami dari Roosliana ini adalah hakim karier di PN dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia memulai karir tahun 1962-1967 sebagai Asisten Dosen FH UI. Kemudian menjadi Hakim PN Rangkas Bitung (1967-1974), Hakim PN Denpasar (1974-1979), Hakim PN Jakarta Utara (1979-1982). Lalu diangkat menjabat Wakil Ketua PN Bale Bandung Kab.Bandung (1982-1987), Ketua PN Cianjur (1987-1991), dan Ketua PTUN Surabaya (1991-1993). Setelah itu, ia dipercaya menjadi Hakim Tinggi PTTUN Medan (1996-1998) dan PTTUN Jakarta (1998-1999).

Saat menjadi Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, ayah dua putri, ini memenangkan gugatan majalah Tempo yang dibredel pemerintah Orde Baru, terhadap Menteri Penerangan Harmoko. Suatu keputusan yang dianggap berani pada masa itu, ketika campur tangan kekuasaan eksekutif masih sangat kuat terhadap yudikatif. Namanya pun melambung sebagai seorang hakim yang punya integritas diri menegakkan keadilan.

Bukan hanya putusan kasus TEMPO yang membuat integritas dan kredibilitasnya sebagai hakim

mencuat. Sebelumnya, ia juga telah memenangkan gugatan lima perusahaan future trading terhadap Menteri Perdagangan yang mencabut SIUP mereka. Juga menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap terdakwa Lince, yang membunuh suaminya sendiri di Pengadilan Negeri Bandung, pada 1986. Serta putusan menolak gugatan petani Cimacan, Jawa Barat, yang lahannya dijadikan lapangan golf.

Penerima Suardi Tasrif SH Award (penghargaan bidang jurnalistik) ini mencantumkan sebuah rumah, sebuah tanah kosong seluas 330 meter persegi, tiga mobil, tabungan Rp 30 juta, dan deposito 12.000 dollar AS. Tanah kosong di Kecamatan Gandul, Cinere, Jakarta, disebutkan seluas 33 meter persegi. Tiga mobil adalah Feroza tahun 1995, dan dua buah sedan, masing-masing tahun 1990 dan tahun 1996.


Pada usianya yang bertambah lanjut, ia masih terlihat segar bugar. Maklum, mayoret drum band pertama di kampus UI, itu gemar berolahraga dan pernah menjadi anggota Tim PON (Pekan Olah Raga Nasional) Jakarta. Bahkan ia juga punya prestasi menjuarai lari 400 meter, 800 meter, dan 400 meter gawang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar